Pameran akan berlangsung : pembukaan Selasa 21 Februari 2012 pukul 19.00 .Sampai dengan Rabu 7 Maret 2012. dibuka oleh Nyoman Gunarsa. Tempat di Posnya Seni Godod.
Orchestra
Garis dan Warna
(Hasrat
Tersembunyi Sun Ardi)
Catatan: Suwarno Wisetrotomo
Dalam dunia seni
rupa, terdapat banyak cara untuk menghadirkan gagasan, tergantung kecenderungan
dan ‘bahasa ekspresi’ yang dipilihnya. Ada yang bertumpu pada elemen-elemen
visual, dengan medium konvensional; ada yang menerobos konvensi secara
radikal,; ada yang mengolah ruang; termasuk ada yang “mewujudkan” dalam bentuk
‘konsep’. Setiap pilihan memiliki konsekuensi atau resikonya masing-masing.
Sun Ardi, perupa
senior kelahiran Yogyakarta, 18 Oktober 1939, memilih bertumpu pada elemen yang
paling elementer, yakni garis. Ia mengatakan, bahwa “garis adalah elemen visual
terpenting dalam karya-karyanya”. Ucapannya juga menjadi tindakannya dalam
berkarya seni rupa. Garis-warna, garis-warna, garis-warna, begitu seterusnya.
Melihat gejala visualnya, ia memainkan ulang alik antara garis dan warna;
menaruh warna-warna dalam bidang, kemudian menorah garis-garis di atasnya. Atau
menorah garis-garis terlebih dahulu untuk menggubah bentuk-bentuk (yang
ilustratif sifatnya), baru kemudian menaruh warna-warna yang dikehendaki tanpa
beban apapun, kecuali pertimbangan artistic dan harmoni. Tanpa beban yang saya
maksud adalah, bahwa warna-warna itu tak dimaksudkan untuk membentuk volume, untuk
menciptakan ilusi ruang, atau menghadirkan tiruan dari alam (mimetic).
Warna-warna itu dihadirkan di sana, di atas bidang-bidang gambar, dengan
sensitivitas seorang komponis.
Ya, saya
mengimajinasikan seorang Sun Ardi adalah seorang komponis untuk lagu-lagu dan
music dengan irama sederhana; singkat dan padat. Saya mengimajinasikan
karya-karya lukisan dan grafis seorang Sun Ardi bagai orkestrasi music yang
padat menghentak; hanya ada dua notasi – garis dan warna – yang dikonstruksi
menjadi hentakan bunyi. Ritme tinggi diwakili oleh warna-warna tajam (merah,
biru, hijau, kuning, violet) yang dijajarkan begitu saja dengan ringan.
Sementara ritme rendah diwakili oleh garis-aris berulang, yang membentuk benda,
sosok-sosok, atau bentuk-bentuk tertentu. Jika diibaratkan dengan gendhing Jawa, mungkin karya-karya itu
sejenis soran, lancaran, atau kebo giro, yang mengandalkan bunyi
keras pada saron dan hentakan kendang.
Orchestra
Kehidupan
Kembali pada
gejala rupa karya-karya Sun Ardi, terbersit pertanyaan; untuk dan atas nama
apakah semua gubahan dalam komposisi tersebut? Atau, apa yang bisa ditangkap
dari gejala tata rupa semacam itu?
Sekali lagi,
bahwa karya-karya Sun Ardi pada dasarnya tidak menghadirkan ilusi ruang, dalam
pengertian logika perspektif. Karena ilusi ruang, di samping dibangun melalui
garis perspektif, juga dibantu oleh intensitas warna-warna. Pada karya-karya
Sun Ardi, baik karya-karya grafis maupun lukisan, tetap bertumpu pada
garis-garis linier yang membentuk sosok-sosok dengan segenap kelengkapannya. Ia
selalu menghadirkan sosok-sosok – anak-anak atau dewasa – dengan sentuhan
ornamentasi di sana-sini.
Gejala
ornamentasi merupakan kecenderungan dominan pada karya-karyanya. Barangkali
itulah cara Sun Ardi “menyembunyikan” hasrat (pesan) yang sesungguhnya; hasrat
sensualitas, seksualitas, keliaran, absurditas, keterpinggiran, dan sebagainya.
Karya grafis, “Wanita” (1992), saya anggap mewakili hasrat sensualitas dan
seksualitas: profil perempuan bertubuh kuning, tampak cantik, rambut ikal warna
hijau tergerai berpita warna merah, dikitari kupu-kupu warna merah, kuning,
berlatar bru, dengan aksen warna merah sekelebat di pojok kiri. Bukankah itu
seksi? Jika ia adalah music, maka ritme yang dibangun sungguh menggugah dan
menggoda hati. Jika ia gendhing Jawa, maka ia gendhing Kutut Manggung yang
mendayu, dan ditutp dengan lancaran. Tema wanita memang memungkinkan sang
perupa dan penontonnya mengembara ke dunia imajinasi tanpa batas.
Karya grafis “Manusia Pohon” saya anggap mewakili
hasrat keliaran dan absurditas dalam memahami sosok manusia (perempuan) di
tengah semesta; kehidupan yang sama-sama tumbuh. Bisa dibentuk, namun bisa juga
liar secara alamiah. Sementara karya lukisan yang menggambarkan empat sosok
perempuan – dua tampak utuh, dua lainnya hanya tampak torsonya – dengan kemben
dan balutan kain batik. Karya yang ornamentaik ini saya anggap mewakili
keterpesonaan dan terpinggirkan sekaligus. Seperti perempuan yang secara
kodrati mempesona, demikian pula batik sampai pada puncak pesona dengan diakui
UNESCO sebagai warisan budaya dunia tak benda (intangible); keduanya berpotensi
ter(di)pinggirkan. Sun Ardi menyadari itu, dan menghadirkannya dalam kanvas
secara dramatic.
Orchestra
kehidupan, itulah tema utama karya-karya Sun Ardi. Kehidupan yang kompleks ia
sederhanakan; ia komposisikan dengan lebih lugas, tanpa kehilangan daya pesona.
Pengembaraan dan
Tegangan Kreatif
Pergulatan
seorang Sun Ardi memang tak sederhana, karena harus ‘membagi’ perhatian pada
banyak minat dan tanggung jawab. Menjadi dosen, kemudian menjadi birokrat
(sebagai Ketua Jurusan Seni Grafis di STSRI “ASRI” Yogyakarta, 1979-1984;
Kepala Balai Pengabdian pada Masyarakat ISI Yogtyakarta, 1984-1986; Dekan
Fakultas Seni Rupa ISI Yogyakarta dua periode, 1993-2000), dan menjadi perupa.
Menjadi dosen
merupakan aktivitas membagi pengetahuan, dan menggugah daya kreatif, dan memacu
semangat berkreasi para mahasiswa. Menjadi birokrat adalah menjadi
administrator yang membuat dan sekaligus bertanggungjawab atas kebijakan yang
dibuatnya yang terkait dengan banyak orang (dan organisasi). Sementara menjadi
perupa (menjadi seniman) adalah bertanggung jawab pada diri sendiri; karena
terkait dengan pergulatan mengasah dan mempertajam gagasan, menemukan ‘bahasa’
dan ‘metafora’ yang tepat untuk mengomunikasikan gagasannya, bekerja keras
untuk menghadirkan karya-karyanya di ruang publik, serta bergulat untuk
mengelola dan menjaga martabatnya sebagai manusia yang seniman.
Seniman yang
bermartabat? Ya, tentu. Karena berkesenian adalah perihal mengelola, mengolah
(gagasan dan jiwa), dan menggubah (karya-karya yang ‘berpihak’ pada gagasan dan
kecenderungan sikap serta pilihan-pilihannya). Jabatan birokrasi, jabatan atau
tugas-tugasnya (dosen, ketua jurusan, dekan) sudah ia selesaikan. Tetapi
menjadi seniman, khususnya menjadi perupa pastilah tak akan pernah selesai. Ia
menuntut kesetiaan, dedikasi, pembelaan sampai akhir. Lebih dari sekadar
sebagai aktualisasi, maka menjadi seniman – menjadi perupa – adalah menjadi
seorang yang terus-menerus menjadi saksi, menjadi perekam, menjadi pencatat
atas kehidupan ini, dan kemudian bertugas mengungkapkannya kembali dalam
‘bahasa’ yang dianggapnya tepat. Ia mengajak orang banyak untuk merenungkan
‘bacaan’ dan ‘perwujudan’ gagasannya, melalui karya-karyanya. Ars longa vita brevis – seni itu panjang
dan kehidupan itu pendek – benarlah adanya. Demikian pula orchestrasi garis
warna gubahan Sun Ardi akan terus hadir di tengah kita. Pengembaraan dan
penjelajahan sangat diperlukan. Dalam pengembaraan menemukan tegangan-tegangan.
Itulah yang akan membuat setiap perupa merasa “sangat kaya”: kaya wawasan, kaya
cara pandang, kaya perspektif, kaya teknik, lalu dengan ringan hati melakukan
eksplorasi. Lalu dengan ringan hati pula ia “mengayakan” batin setiap orang
yang menonton dan mengapresiasi karya-karyanya. Sun Ardi, saya percaya, sudah
melewati setiap onak, ombak, dan lembah terjal. Karena itu, kini, ia dengan
ringan hati terus menggoreskan garis-garisnya, dan menaruh warna-warnanya
menjadi orchestra garis dan warna.
Selamat
berpameran Pak Sun Ardi; selamat menjadi saksi, selamat mengkreasi.
Terus-menerus…..!
Yogyakarta,
Joglo Panepen, 23 Januari 2012 (bertepatan dengan Tahun Baru Imlek 2563 – Gong
Xi Fat Chai).