Rabu, 15 Februari 2012


Pameran akan berlangsung : pembukaan Selasa 21 Februari 2012 pukul 19.00 .Sampai dengan Rabu 7 Maret 2012. dibuka oleh Nyoman Gunarsa. Tempat di Posnya Seni Godod.
Orchestra Garis dan Warna
(Hasrat Tersembunyi Sun Ardi)
Catatan: Suwarno Wisetrotomo

  Dalam dunia seni rupa, terdapat banyak cara untuk menghadirkan gagasan, tergantung kecenderungan dan ‘bahasa ekspresi’ yang dipilihnya. Ada yang bertumpu pada elemen-elemen visual, dengan medium konvensional; ada yang menerobos konvensi secara radikal,; ada yang mengolah ruang; termasuk ada yang “mewujudkan” dalam bentuk ‘konsep’. Setiap pilihan memiliki konsekuensi atau resikonya masing-masing.
  Sun Ardi, perupa senior kelahiran Yogyakarta, 18 Oktober 1939, memilih bertumpu pada elemen yang paling elementer, yakni garis. Ia mengatakan, bahwa “garis adalah elemen visual terpenting dalam karya-karyanya”. Ucapannya juga menjadi tindakannya dalam berkarya seni rupa. Garis-warna, garis-warna, garis-warna, begitu seterusnya. Melihat gejala visualnya, ia memainkan ulang alik antara garis dan warna; menaruh warna-warna dalam bidang, kemudian menorah garis-garis di atasnya. Atau menorah garis-garis terlebih dahulu untuk menggubah bentuk-bentuk (yang ilustratif sifatnya), baru kemudian menaruh warna-warna yang dikehendaki tanpa beban apapun, kecuali pertimbangan artistic dan harmoni. Tanpa beban yang saya maksud adalah, bahwa warna-warna itu tak dimaksudkan untuk membentuk volume, untuk menciptakan ilusi ruang, atau menghadirkan tiruan dari alam (mimetic). Warna-warna itu dihadirkan di sana, di atas bidang-bidang gambar, dengan sensitivitas seorang komponis.
  Ya, saya mengimajinasikan seorang Sun Ardi adalah seorang komponis untuk lagu-lagu dan music dengan irama sederhana; singkat dan padat. Saya mengimajinasikan karya-karya lukisan dan grafis seorang Sun Ardi bagai orkestrasi music yang padat menghentak; hanya ada dua notasi – garis dan warna – yang dikonstruksi menjadi hentakan bunyi. Ritme tinggi diwakili oleh warna-warna tajam (merah, biru, hijau, kuning, violet) yang dijajarkan begitu saja dengan ringan. Sementara ritme rendah diwakili oleh garis-aris berulang, yang membentuk benda, sosok-sosok, atau bentuk-bentuk tertentu. Jika diibaratkan dengan gendhing Jawa, mungkin karya-karya itu sejenis soran, lancaran, atau kebo giro, yang mengandalkan bunyi keras pada saron dan hentakan kendang.  
Orchestra Kehidupan
  Kembali pada gejala rupa karya-karya Sun Ardi, terbersit pertanyaan; untuk dan atas nama apakah semua gubahan dalam komposisi tersebut? Atau, apa yang bisa ditangkap dari gejala tata rupa semacam itu?  
  Sekali lagi, bahwa karya-karya Sun Ardi pada dasarnya tidak menghadirkan ilusi ruang, dalam pengertian logika perspektif. Karena ilusi ruang, di samping dibangun melalui garis perspektif, juga dibantu oleh intensitas warna-warna. Pada karya-karya Sun Ardi, baik karya-karya grafis maupun lukisan, tetap bertumpu pada garis-garis linier yang membentuk sosok-sosok dengan segenap kelengkapannya. Ia selalu menghadirkan sosok-sosok – anak-anak atau dewasa – dengan sentuhan ornamentasi di sana-sini.   
  Gejala ornamentasi merupakan kecenderungan dominan pada karya-karyanya. Barangkali itulah cara Sun Ardi “menyembunyikan” hasrat (pesan) yang sesungguhnya; hasrat sensualitas, seksualitas, keliaran, absurditas, keterpinggiran, dan sebagainya. Karya grafis, “Wanita” (1992), saya anggap mewakili hasrat sensualitas dan seksualitas: profil perempuan bertubuh kuning, tampak cantik, rambut ikal warna hijau tergerai berpita warna merah, dikitari kupu-kupu warna merah, kuning, berlatar bru, dengan aksen warna merah sekelebat di pojok kiri. Bukankah itu seksi? Jika ia adalah music, maka ritme yang dibangun sungguh menggugah dan menggoda hati. Jika ia gendhing Jawa, maka ia gendhing Kutut Manggung yang mendayu, dan ditutp dengan lancaran. Tema wanita memang memungkinkan sang perupa dan penontonnya mengembara ke dunia imajinasi tanpa batas.
  Karya  grafis “Manusia Pohon” saya anggap mewakili hasrat keliaran dan absurditas dalam memahami sosok manusia (perempuan) di tengah semesta; kehidupan yang sama-sama tumbuh. Bisa dibentuk, namun bisa juga liar secara alamiah. Sementara karya lukisan yang menggambarkan empat sosok perempuan – dua tampak utuh, dua lainnya hanya tampak torsonya – dengan kemben dan balutan kain batik. Karya yang ornamentaik ini saya anggap mewakili keterpesonaan dan terpinggirkan sekaligus. Seperti perempuan yang secara kodrati mempesona, demikian pula batik sampai pada puncak pesona dengan diakui UNESCO sebagai warisan budaya dunia tak benda (intangible); keduanya berpotensi ter(di)pinggirkan. Sun Ardi menyadari itu, dan menghadirkannya dalam kanvas secara dramatic.
Orchestra kehidupan, itulah tema utama karya-karya Sun Ardi. Kehidupan yang kompleks ia sederhanakan; ia komposisikan dengan lebih lugas, tanpa kehilangan daya pesona.
Pengembaraan dan Tegangan Kreatif
  Pergulatan seorang Sun Ardi memang tak sederhana, karena harus ‘membagi’ perhatian pada banyak minat dan tanggung jawab. Menjadi dosen, kemudian menjadi birokrat (sebagai Ketua Jurusan Seni Grafis di STSRI “ASRI” Yogyakarta, 1979-1984; Kepala Balai Pengabdian pada Masyarakat ISI Yogtyakarta, 1984-1986; Dekan Fakultas Seni Rupa ISI Yogyakarta dua periode, 1993-2000), dan menjadi perupa.
  Menjadi dosen merupakan aktivitas membagi pengetahuan, dan menggugah daya kreatif, dan memacu semangat berkreasi para mahasiswa. Menjadi birokrat adalah menjadi administrator yang membuat dan sekaligus bertanggungjawab atas kebijakan yang dibuatnya yang terkait dengan banyak orang (dan organisasi). Sementara menjadi perupa (menjadi seniman) adalah bertanggung jawab pada diri sendiri; karena terkait dengan pergulatan mengasah dan mempertajam gagasan, menemukan ‘bahasa’ dan ‘metafora’ yang tepat untuk mengomunikasikan gagasannya, bekerja keras untuk menghadirkan karya-karyanya di ruang publik, serta bergulat untuk mengelola dan menjaga martabatnya sebagai manusia yang seniman.
  Seniman yang bermartabat? Ya, tentu. Karena berkesenian adalah perihal mengelola, mengolah (gagasan dan jiwa), dan menggubah (karya-karya yang ‘berpihak’ pada gagasan dan kecenderungan sikap serta pilihan-pilihannya). Jabatan birokrasi, jabatan atau tugas-tugasnya (dosen, ketua jurusan, dekan) sudah ia selesaikan. Tetapi menjadi seniman, khususnya menjadi perupa pastilah tak akan pernah selesai. Ia menuntut kesetiaan, dedikasi, pembelaan sampai akhir. Lebih dari sekadar sebagai aktualisasi, maka menjadi seniman – menjadi perupa – adalah menjadi seorang yang terus-menerus menjadi saksi, menjadi perekam, menjadi pencatat atas kehidupan ini, dan kemudian bertugas mengungkapkannya kembali dalam ‘bahasa’ yang dianggapnya tepat. Ia mengajak orang banyak untuk merenungkan ‘bacaan’ dan ‘perwujudan’ gagasannya, melalui karya-karyanya. Ars longa vita brevis – seni itu panjang dan kehidupan itu pendek – benarlah adanya. Demikian pula orchestrasi garis warna gubahan Sun Ardi akan terus hadir di tengah kita. Pengembaraan dan penjelajahan sangat diperlukan. Dalam pengembaraan menemukan tegangan-tegangan. Itulah yang akan membuat setiap perupa merasa “sangat kaya”: kaya wawasan, kaya cara pandang, kaya perspektif, kaya teknik, lalu dengan ringan hati melakukan eksplorasi. Lalu dengan ringan hati pula ia “mengayakan” batin setiap orang yang menonton dan mengapresiasi karya-karyanya. Sun Ardi, saya percaya, sudah melewati setiap onak, ombak, dan lembah terjal. Karena itu, kini, ia dengan ringan hati terus menggoreskan garis-garisnya, dan menaruh warna-warnanya menjadi orchestra garis dan warna. 
Selamat berpameran Pak Sun Ardi; selamat menjadi saksi, selamat mengkreasi. Terus-menerus…..!

Yogyakarta, Joglo Panepen, 23 Januari 2012 (bertepatan dengan Tahun Baru Imlek 2563 – Gong Xi Fat Chai).      

Tidak ada komentar:

Posting Komentar